Dari Masa Gemilang yang Otoriter sampai Revolusi dalam Revolusi

Rabu, 10 Oktober 2007

Dari Masa Gemilang yang Otoriter sampai Revolusi dalam Revolusi

Judul buku : An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra,
Penulis : Anthony Reid
Penerbit : Singapore University Press, 2005
Tebal : xv + 439 halaman

< : p>

KALAU dalam sebuah uraian sejarah ada kisah tentang betapa musuh bebuyutan tampil sebagai pembela di saat yang dibutuhkan, maka orang pun bisa berkata bahwa sebuah "ironi sejarah" telah terjadi.

KATA ironi dipakai ketika keharusan logika mengalami masalah dalam sistem wacana yang ingin menyalin realitas seutuh mungkin. Bukankah lebih masuk akal kalau musuh mengambil keuntungan, bukannya malah menolong? Tetapi apakah istilah yang bisa dipakai kalau terjadi pertentangan antara gambaran yang dibuat tentang masa lalu dan realitas yang sesungguhnya? Pemalsuan sejarah? Pasti bukan, sebab gambaran atau image bukan kronikel, yang harus memberikan fakta yang "pasti" tentang "apa, siapa, di mana, dan bila". Image hanyalah gambaran mental tentang situasi atau peristiwa masa lalu. Dan, apa pula istilahnya kalau image tentang peristiwa atau situasi di masa lalu itu dijadikan pula sebagai landasan legitimasi dari ideologi kekuasaan? Mitologisasi?

Tetapi sudahlah. Masalahnya ialah kita terlalu biasa menjadikan episode-episode tertentu dari masa lalu sebagai landasan legitimasi bagi tatanan politik yang ingin dibela. Ingat saja gaya Demokrasi Terpimpin atau bahkan Demokrasi Pancasila. Kalau yang satu menyebutkan sistem itu sebagai pantulan autentik dari "kepribadian nasional", maka yang lain mengatakan bahwa dirinya adalah pancaran "jati diri bangsa". Kedua sistem itu membanggakan diri sebagai warisan luhur nenek moyang. Hanya saja, kalau sumber-sumber sejarah yang sahih dijadikan sebagai landasan dalam usaha mengadakan rekonstruksi sejarah-sebagaimana semestinya dalam penulisan sejarah, maka kita pun berhadapan dengan gambaran situasi yang sama sekali berbeda.

Memang benar adanya kerajaan-kerajaan besar dan gemilang bisa ditemukan dalam sejarah-hasil-rekonstruksi yang sah dan kehadiran raja yang agung pun bukanlah pula semata-mata hasil imajinasi sejarawan. Namun, tak satu pun dari kerajaan atau raja yang dibanggakan itu mempunyai sistem kekuasaan dengan ciri-ciri yang pantas disebut demokratis. Bagaimana dengan Majapahit yang konon-menurut versi sejarah yang romantik dan nasionalistis-negara kedua yang mempersatukan Nusantara (sesudah Sriwijaya dan sebelum Negara Kesatuan RI)? Semakin hebat kekuasaan Majapahit semakin "sentralistis" dan otoriter sistem kekuasaannya. Studi De Casparis tentang zaman kuno Jawa memperlihatkan irama sejarah yang nyaris menetap-setiap kerajaan bermula dari situasi konsensus dan berkembang menjadi kekuasaan otoriter dan "sentralistis". Studi De Graaf dan Ricklefs tentang Mataram Baru juga memperlihatkan tendensi yang sama. Setiap raja besar dan kerajaan gemilang di tanah air kita bersandar pada sistem kekuasaan yang otoriter. Jadi, tidak ada kaitannya dengan demokrasi, apa pun kata sifat yang mau diletakkan di belakang kata ini.

Sejarah Aceh Sejarah Pergolakan

Dua bab dari buku terakhir Tony Reid, sejarawan yang semakin terkenal setelah dua jilid bukunya tentang Asia Tenggara abad ke-16 (yang disebutnya sebagai The Age of Commerce) terbit, secara khusus membicarakan perkembangan sistem kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Dari uraiannya yang agak mendetail ini tampak pulalah, sebagaimana studi lain pernah juga mensinyalir, bahwa Sultan Iskandar Muda (1607-1639), penguasa yang terbesar dalam sejarah Aceh, adalah pewaris takhta yang sangat berhasil menjalankan sistem kekuasaan yang "sentralistis", otoriter, dan ekspansionis, yang telah dirintis kakeknya. Jadi, betapapun mungkin "masa lalu yang gemilang" bisa memberikan kebanggaan-kebanggaan sejarah memang salah satu ciri nasionalisme, tetapi bila dipakai sebagai landasan ideologis dari kehidupan politik yang dikatakan demokratis hanya akan menimbulkan situasi dilematis yang menyesatkan.

Buku Prof Reid, yang kini menjabat Direktur Asian Research Institute, National University of Singapore, tidaklah khusus berbicara tentang sistem kekuasaan Kesultanan Aceh. Buku yang merupakan kumpulan artikel yang ditulis (tetapi mengalami revisi) dalam rentang waktu selama masa 40 tahun ini sebenarnya tampil dengan tiga tema utama.

Pertama, suatu exercise akademis dengan memperlakukan Sumatera sebagai kesatuan sejarah. Meskipun Bab 12, 13, dan 14 mencoba melihat berbagai peristiwa yang terjadi di Sumatera, khususnya masa pendudukan Jepang dan masa-masa awal revolusi, pada Bab 1, 2, 3, dan 13 penulis menghadapkan dirinya pada usaha melihat Sumatera sebagai sebuah kesatuan sejarah.

Kedua, memperkenalkan lebih mendalam aspek dan dimensi tertentu dari sejarah Aceh. Tak kurang dari tujuh bab yang khusus berbicara tentang dan mengenai Aceh dan boleh dikatakan hanya satu bab saja (Bab 9) yang nyaris tak berbicara tentang Aceh. Bab 9 ini membahas tentang migrasi Cina ke Sumatera Utara/Timur, di saat daerah ini sedang tampil sebagai pusat perkebunan yang sangat menggairahkan di abad ke-19. Sambil lalu boleh juga dikatakan bahwa bab yang cukup detail ini bisa mengingatkan kita pada kisah-kisah sedih para TKI, yang sempat menghebohkan itu. Hanya saja, di samping negara pengirim (China), ada dua negara kolonial calon penerima yang terlibat, yaitu Belanda dan Inggris, yang telah mendominasi Tanah Semenanjung. Pemerintah China sempat juga memenggal kepala seorang calo yang dituduh telah menjerumuskan pekerja migran dalam penderitaan (halaman 217).

Ketiga, mengadakan rekonstruksi berbagai peristiwa sejarah tentang perhatian bangsa lain untuk "bermain" di atas pentas sejarah Sumatera, khususnya Aceh dan Sumatera Utara/Timur. Sebagai yang keempat boleh juga disebut bab terakhir yang mempertentangkan visi kesejarahan Indonesia dan Aceh atau, lebih tepat, Hasan Tiro.

Uraian tentang berbagai aspek sejarah Kesultanan Aceh mendominasi kumpulan tulisan ini. Dari uraian ini kelihatanlah bahwa terwujudnya sistem otokrasi terkait dengan kemampuan pemegang mahkota untuk menguasai jalur perdagangan dan sumber-sumber produksi tanaman ekspor, terutama lada. Jadi, sang raja harus berhadapan dengan para "orang kaya", yang menguasai perdagangan, dan dengan para penguasa daerah. Kemampuan menjinakkan kedua unsur elite inilah yang menjamin kekuasaan sang raja. Tanpa kemampuan ini, bukan saja kestabilan pemerintahan bisa digoyahkan, keselamatan sang raja pun dipertaruhkan.

Meskipun Reid tak mengatakannya secara eksplisit, kesaksian Sheikh Nurruddin ar-Raniri dalam buku ensiklopedisnya, Bustanussalatin (ditulis awal abad ke-17) mengatakan bahwa menjelang konsolidasi kekuasaan ini hampir-hampir tak ada raja yang mangkat atau turun takhta dengan "aman". Barulah di masa pemerintahan Sultan Ala ’ad-din Ri’ayat Syah Sayyid al- Mukammil (1589-1604), masa yang disebut Reid sebagai "royal absolutism" bermula dan mencapai puncaknya di bawah Iskandar Muda. Setelah raja yang perkasa ini mangkat, proses melorotnya kekuasaan raja pun secara bertahap terjadi dan kekuasaan penguasa daerah, panglima sagi, penguasa tiga daerah dekat ibu kota, makin menaik. Iskandar Muda digantikan oleh menantunya, Iskandar Thani, karena sang sultan yang perkasa ini telah lebih dulu menghukum mati putra tunggalnya.

Ketika Iskandar Thani meninggal (1641), para orang besar kerajaan memilih jalan tengah dengan mengangkat permaisurinya (putri Iskandar Muda), Safiyyat al-Din Taj al-Alam (1641-1675) sebagai sultanah. Maka, masa pemerintahan empat sultanah pun bermula. Namun, ketika konspirasi para "orang kaya" berhasil memakzulkan sultanah yang keempat, Kamalat Syah, pada tahun 1699 dengan alasan fikih, maka berakhirlah periode "sultanah" dalam sejarah Aceh. Dan, Aceh pun mempunyai dinasti baru. Tetapi sementara itu peranan para "orang kaya" dan uluebalang semakin penting juga.

Diplomasi Aceh

Dalam konteks sejarah Aceh abad ke-16 dan ke-17 ini Reid berkisah tentang dua hal lain yang biasanya hanya disinggung sambil lalu saja, yaitu tentang festival kerajaan dan hubungan diplomatik Aceh dengan Turki. Dengan bersandar pada sumber-sumber dari para pelancong dan pedagang Barat yang datang ke Aceh, bab ini bercerita tentang berbagai macam keramaian kerajaan-perarakan gajah, perayaan hari-hari besar Islam, upacara perkawinan, penerimaan utusan asing, dan sebagainya. Pokoknya, kata Reid, "Aceh di abad ke-17 tidaklah sekadar pusat perdagangan dan kekuatan militer. Aceh adalah juga sebuah kota yang luas dan kaya yang mempunyai segala sesuatu dan kebudayaan untuk mengembangkan gaya hidup yang menyenangkan, dengan memberi waktu yang banyak bagi olahraga, hiburan, dan kemegahan". Semuanya memancarkan kebesaran dan suasana adikodrati yang menyelimuti sang penguasa (halaman 135).

Setelah Turki Usmaniyah berhasil merebut Konstantinopel (1492), kerajaan ini pun tampil sebagai kekuasaan Islam yang paling megah. Jadi, mestikah diherankan kalau Aceh Darussalam yang baru berhasil menyatukan Aceh ingin mengadakan hubungan aliansi? Kepentingan politik, keharusan perdagangan, dan solidaritas agama adalah motivasi yang terlalu kuat untuk dibiarkan lewat begitu saja, apalagi kekuatan "kafir", Portugis, yang telah menaklukkan Malaka (1511), bukan saja lawan yang harus dikalahkan, tetapi juga kekuatan yang selalu mengancam.

Usaha diplomatik Aceh dimulai oleh Sultan Ala’addin Riayat al Kahar (1539-1571), yang baru memakzulkan saudaranya. Usaha Aceh inilah yang menyebabkan Turki melibatkan diri dalam situasi dagang dan politik di kawasan Asia Tenggara. Bisa juga dipahami keterlibatan Turki ini juga mendorong kerja sama antarkerajaan Islam di Asia Tenggara. "Hubungan diplomasi tahun 1560-an antara Turki dan Aceh mencapai tingkat yang tertinggi dan merupakan unsur yang penting dalam penentuan arah politik Turki dan Aceh" (halaman 89).

Maka, jika kemudian di abad ke-19-sebagaimana dikisahkan Reid pada Bab 10-perjuangan berlandaskan cita-cita pan-Islam terjadi di berbagai pusat kekuasaan, hal ini tentu lebih mudah bisa dipahami. Aceh, Japara, Ternate, Gresik, dan Johor, katanya, adalah pusat-pusat kekuasaan yang mudah terkena cita-cita pan-Islam. Bahkan sesungguhnya meletusnya perang (kolonial) Aceh tidak bisa dipahami dengan baik tanpa mempertimbangkan peranan atau kemungkinan peranan Turki.

Sejarah Kolonial

Bab-bab tentang sejarah Kesultanan Aceh ini memang lebih banyak berbicara tentang aspek perdagangan dan struktur politik. Hal ini tentu bisa dipahami karena melalui kedua jalur inilah Aceh berjaya di perairan Selat Malaka dan di pantai barat Sumatera. Tetapi ada dua bab lagi (8 dan 11) yang menarik meskipun jika penilaian lama ingin dipakai bab-bab ini, terutama Bab 11, bisa dimasukkan ke dalam kategori "sejarah kolonial", bukan dalam pengertian moral, tetapi perspektif. Kedua bab ini bercorak penulisan sejarah yang- sebagaimana dikatakan Van Leur di akhir tahun 1930-an- dilihat dari "dek kapal dan jendela loji". Jadi lebih banyak berkisah tentang orang asing dan nyaris tak memberi tempat bagi anak negeri untuk bermain di atas pentas sejarah yang rekonstruksi itu. Tetapi memang bab-bab dipakai Reid untuk berkisah tentang berbagai pengalaman dan kelakuan orang Eropa dalam berhadapan dengan negeri yang mudah-mudahan bisa dieksploitasi dan dikuasai. Bab 8 boleh dikatakan sebagai "sejarah pinggiran" Aceh karena hanya berkisah tentang berbagai usaha orang atau Pemerintah Perancis dalam berhadapan dengan Aceh di awal abad ke-19. Maka kita pun berkenalan dengan pengalaman yang mengharukan dari dua pendeta Katolik yang masih muda yang ingin menyampaikan "berita gembira" dan tentang gunboat diplomacy yang sempat dijalankan Perancis terhadap Aceh. Abad ke-19 adalah masa menaiknya kolonialisme, tetapi di masa ini Sultan Aceh sempat juga mengadakan kontak dengan Louis Phillipe, Raja Perancis sesudah Revolusi 1830, dan Louis Napoleon, yang meniru pamannya, Napoleon Bonaparte, mengangkat diri sebagai kaisar, dan juga dengan republik yang berdiri kemudian. Sayang bagi Aceh kontak ini tak berjalan mulus. Perancis tak ingin terlibat konflik dengan Belanda.

Di samping menarik sebagai kisah, Bab 11 semakin memperjelas latar belakang agresi yang dilancarkan Belanda di tahun 1873. Bab ini berkisah tentang WH Read, seorang pedagang Inggris yang menetap di Singapura. Karena kemampuan lobinya yang hebat, ia diangkat Pemerintah Belanda sebagai konsul di kota dagang yang telah tumbuh pesat itu. Dengan jabatan ini, Read mendapat hak untuk mengeluarkan visa dengan bayaran bagi setiap kaula Hindia Belanda yang ingin naik haji. Namun, bagi Pemerintah Belanda, ia tampaknya lebih diperlukan sebagai "informan" mengenai hal-hal yang bisa merugikan kepentingan Belanda. Maka timbul juga pertanyaan, jangan-jangan telegram yang dikirimkan Read tentang usaha diplomatik Aceh untuk mendekati Amerika Serikat yang menyebabkan Belanda dengan tergesa-gesa menyerang Aceh. Serangannya ini berakibat fatal bagi Belanda dan serangan yang dilancarkan kemudian menjerumuskan Belanda dalam perang kolonial terlama dan termahal. Memang benar dalam Sumatra Treaty (2 November 1871) Inggris telah memberikan hak kepada Belanda untuk menguasai Aceh, tetapi apakah semudah itu melakukannya? Maka ketika Aceh telah mengadakan usaha diplomatik, Belanda pun kehilangan perhitungan yang matang. Dalam masa 40 tahun "perang Aceh" sekian banyak nyawa melayang di kedua belah pihak. Timbul juga pertanyaan, apakah perang yang berkepanjangan ini benih yang menumbuhkan "tradisi perlawanan" dalam budaya dan masyarakat Aceh?

Perpecahan Masyarakat Aceh

Salah satu dampak struktural dari "perang Aceh" dan kekuasaan kolonial ialah terpecahnya sistem kepemimpinan Aceh-uluebalang, yang didukung pemerintah kolonial, dan ulama, yang selalu dicurigai. Ketika Jepang telah mulai mengancam, perpecahan struktural ini semakin menampakkan dirinya dalam realitas. Ketika militer Jepang masih berada di Tanah Semenanjung, pemberontakan terhadap Belanda terjadi dan di saat kekuasaan Jepang telah semakin opresif di beberapa tempat pemberontakan terhadap Jepang juga meletus.

Ketika revolusi nasional telah sampai di Aceh seorang uluebalang yang mempunyai reputasi nasionalistis, Teuku Nyak Arief, diangkat menjadi residen republik. Tetapi di saat itu pula pertempuran terbuka antara pendukung ulama dan uluebalang di Pidie terjadi. Drama "Perang Cumbok" terjadi-rakyat Aceh telah saling membunuh. Hampir semua uluebalang Pidie mati terbunuh (awal 1946). Tak lama kemudian pemuda PUSA mengadakan "revolusi sosial" di pantai timur, dari selatan menuju utara dan sepanjang perjalanan membersihkan segala unsur yang dianggap mewakili "kekuasaan feodalisme".

Akan tetapi, "revolusi dalam revolusi" bukanlah monopoli Aceh. Revolusi sosial yang dahsyat terjadi juga di Sumatera Timur-sultan-sultan yang selama ini mendapat hak-hak istimewa pemerintah kolonial jadi sasaran. Bahkan di Sumatera Barat, dengan waktu dan tingkat intensitas yang lebih rendah, revolusi sosial juga terjadi.

Sumatera sebagai Medan dan Kesempatan

Akhirnya, kalimat pertama dari Bab I buku ini baik juga kalau dikutip: "Sumatra is a frontier. Bagi peradaban lama di sekitar Lautan Hindia ia selalu merupakan sebuah pulau misterius di Timur yang dilimpahi kekayaan-Swarnadwipa, pulau mas yang menjadi pintu masuk ke semua kekayaan Asia Tenggara. Bagi Indonesia, pulau ini adalah pulau kesempatan, kekayaan alam yang melimpah dan dinamisme ekonomi".

Tetapi bukankah aneh juga kalau pulau ini tak pernah merupakan suatu kesatuan-tidak dalam sistem kekuasaan, bahkan tidak pula dalam bayangan masa depan. Sriwijaya adalah kerajaan besar, tetapi terlupakan dalam ingatan kolektif, kehadirannya dalam sejarah adalah hasil penemuan. Kekuasaan Kesultanan Aceh di luar Aceh tak berumur panjang. Islam secara bertahap memasuki daerah pedalaman, tetapi sejak akhir abad ke-19 misi Kristen mulai pula memasuki wilayah ini, khususnya di sekitar Danau Toba. Maka cita-cita ke-Sumatera-an tak lebih daripada bayangan yang lewat di atas pentas sejarah.

Jong Sumatranen Bond dan Konferensi Persatuan Sumatera di Sibolga dan Padang di awal tahun 1920-an, bahkan juga (tetapi tak diceritakan buku ini) terbentuknya Sarekat Sumatra, hanyalah episode sejarah yang perlu dicatat saja. Kesatuan administratif Provinsi Sumatera yang berpusat di Medan, dan terpisahnya Sumatera dengan wilayah Indonesia lain, di masa pendudukan Jepang-Jawa di bawah Tentara ke-16, Indonesia bagian timur di bawah angkatan laut, sedangkan Sumatera di bawah kekuasaan Tentara ke-25-tidak mengubah kecenderungan akan keterikatan Sumatera dengan wilayah lain. Malah yang terjadi ialah sekian banyak "anak Sumatera" yang tampil sebagai pelopor nasionalisme Indonesia. Rupanya perbedaan internal yang kompleks seakan-akan telah menjadikan nasib Sumatera hanya mempunyai dua pilihan: terpecah-pecah atau terikat dalam kesatuan lain di luar dirinya.

Bahkan ketika Jepang akhirnya memutuskan untuk mengikutsertakan Sumatera dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, pemerintah militer tidak mengirim para tokoh yang telah sempat meneguhkan kedudukan mereka sebagai pemimpin Sumatera yang disegani. Pemerintah militer Jepang memilih tokoh-tokoh lain sebagai wakil Sumatera. Maka bisa diperkirakan bahwa ketika Pemerintah RI yang baru berumur dua-tiga hari mengangkat mereka sebagai gubernur dan wakil gubernur Provinsi Sumatera-TM Hassan dan M Amir-mereka sangat tergantung pada legitimasi yang diberikan Soekarno-Hatta. Tetapi sementara itu daerah-daerah yang telah mempunyai kepemimpinan yang kuat dengan segera menampilkan diri sebagai kekuatan republik.

Berbagai peristiwa di masa revolusi, seperti Konferensi Sumatera yang disponsori Negara Sumatera Timur, di Medan (1949), dan bahkan kemudian, ketika kekecewaan daerah kepada pusat telah semakin memuncak, dengan meletusnya PRRI/Permesta (1958) ternyata kekuatan nasionalisme Sumatera tak berarti apa-apa. Perbedaan internal tak bisa diabaikan. Tetapi dinamika yang langsung atau tidak didorong oleh kolonialisme penting diketahui. Keamanan relatif di bawah kolonialisme mendorong terjadinya migrasi. Kemudian ternyatalah bahwa gerak ke arah modernisasi lebih banyak berasal dari orang pedalaman, yang bertani di lembah-lembah dataran tinggi, yang bermigrasi itu. "Nenek moyangku orang pelaut" hanyalah nyanyian romantik, tetapi kemajuan dalam pendidikan digerakkan oleh orang dari pedalaman-Batak, Minangkabau, dan Minahasa secara statistik lebih maju dalam pendidikan.

Begitulah buku yang terdiri dari 15 bab ini membawa kita menjelajahi berbagai aspek sejarah Sumatera. Dengan buku ini Reid memberikan kesempatan kepada kita untuk membaca tulisan-tulisannya yang tersebar di lima belas penerbitan. Harus diakui juga bahwa kumpulan tulisan bisa menyebabkan penasaran. Coba kalau hal-hal ini dan itu dibicarakan juga, bukankah kita akan mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang tema utama? Jika aktivitas dan peranan para ulama besar seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Abdur Rauf al-Singkili, dan Nurruddin ar-Raniri dibicarakan, barangkali arti Aceh dalam sejarah "dunia Melayu" akan semakin kelihatan. Kalau Reid juga membicarakan komposisi etnis dan interpenetrasi etnis bukankah pengetahuan kita tentang Aceh semakin mendalam, karena Aceh pun hanyalah kesatuan etnis terbesar saja di daerah yang disebut Aceh itu? Dan seterusnya.

Tetapi sebaliknya, kumpulan tulisan memberikan kita pengetahuan yang relatif utuh tentang hal-hal tertentu tanpa harus mengikatkannya dalam suatu kesatuan besar. Keterpenggalan dalam mengupas masalah ternyata mempunyai fungsi penting juga dalam pengerjaan keilmuan. Maka begitulah, sebuah buku yang sangat berharga bagi mereka yang ingin memperdalam pengetahuan sejarah, bukan saja tentang Sumatera dan Aceh, tetapi bahkan juga Indonesia dan Asia Tenggara, telah dihasilkan. Dengan buku ini Reid kembali membuktikan dirinya sebagai sejarawan yang lebih tertarik pada penemuan fakta yang sahih daripada berspekulasi tentang bagaimana "masa lalu itu semestinya" dipahami.

Taufik Abdullah Sejarawan

Tidak ada komentar: