RAHASIA MICHEL ANGELO’S (Bag.1)

Selasa, 15 Januari 2008

RAHASIA MICHEL ANGELO’S

Oleh Paul Christopher

Judul Asli “Michelangelo’s Secret

Penerbit Dastan Books, Jakarta, 2006

Penerjemah : Ahmad Munajir & Nadiah Alwi

445 Halaman

Prolog

22 Juli 1942, La Spezia,

Pantai Liguria

Italia Utara

MAGGIORE Tiberio Bertoglio, mengenakan seragam anggota Brigade Hitam Mussolini–lengkap dengan emblem dari kayu eboni di pundak, label ukuran dobel-M berwarna merah darah dan perak di bagian kerah, serta sebuah lencana bergambar tengkorak dan tulang bersilang berwarna perak dan hitam pada bagian atas topinya–duduk di jok belakang mobil dinas Lancia yang berdebu. Kedua lengan disilangkan di dadanya dengan gaya Il Duce. Ia tak merasa sebesar yang tampak, setengahnya pun tidak. Seragam itu hanyalah tipuan. Dia sama sekali bukan anggota tentara melainkan anggota OVRA, Organizzazione di Vigilanza Repressione dell’Antifascismo–Organisasi Kewaspadaan terhadap Paham Anti-Fasis–yang terkutuk itu : polisi rahasia Mussolini, gestapo Italia.

Pagi itu ia habis terbang dari Roma dengan sebuah dengan sebuah pesawat engkol kuno, Savoia-Marchetti SM. 75, yang dibagian ekornya samara-samar masih terlihat lencana tua bergambar burung biru Ala Litiria persis di belakang simbol fasis angkatan udara Italia, yaitu tiga kapak hitam yang tertancap pada seikat batang pohon. Setelah empat jam melonjak-lonjak di udara, ia tiba di Pangkalan Angkatan Laut La Spezia, meminjam mobil dinas itu dan seorang sopir dan sekarang ia hampir sampai di akhir perjalanannya.

Sang sopir membawa mereka melewati jalan-jalan sempit nan berliku di kota Portovenere, menyusur ke pelabuhan ikan di La Grazie. Di belakangnya terbentang benteng raksasa abad kedua belas, Castello Doria, yang dibangun delapan ratus tahun lalu untuk menjaga jalan menuju Teluk Spezia, dan benteng itu masih menjalankan fungsinya. Di teluk yang terlindungi itu sendiri, Bertoglio dapat melihat setengah angkatan laut Italia berlabuh, termasuk kapal perang yang amat besar Andrea Doria dan kapal sejenisnya, Giulio Cesare. Dihentak-hentak dan diinjak-injak tapi masih terapung.

Mobil dinas itu akhirya sampai di dermaga tua yang sudah rapuh. Bertoglio melangkah keluar dari jeep besar yang berbalut pasir itu dan memberi salam hormat singkat ala fasis kepada sang sopir dengan menghentakkan sepatu botnya.

“Kembalilah setengah jam lagi, jangan lebih,” Bertoglio berpesan.

“Pasti, Maggiore. Setengah jam.”

Sopir itu mengangguk, mendorong persneling mobil Lancia dan meninggalkan tempat itu. Di pulau Palmaria yang berpohon besar-besar, sejauh setengah mil di seberang teluk yang merupakan pelabuhan desa perikanan, Bertoglio dapat melihat gedung rendah nan panjang yang mencirikan biara San Giovanni All”Orfenio. Biara itu berdiri hampir di atas pantai dengan sebuah dermaga kecil bersemen miliknya sendiri; di dermaga itu ada sebuah perahu kuno besar yang diikatkan pada pancang besi tua berwarna hitam. Bertoglio menengok-nengok sekelililing dan akhirnya dalam jarak beberapa yard ia melihat sebuah perahu penangkap ikan yang ditambatkan. Pemiliknya sedang merokok dan bercakap-cakap dengan laki-laki lain.

“Berapa ongkos menyeberang ke biara?” Bertoglio bertanya dengan suara keras. Sang nelayan memandangnya naik turun, memperhatikan tanda pangkat mayor strip satu yang melengkung di lengannya, serta label brigade Mussolini.

“Kenapa anda ingin ke sana?” orang tua itu bertanya. Kedua matanya yang sayu menatap topi militer berwarna hitam dan lencana bergambar tengkorak manusia. Ia tidak tampak terpengaruh.

“Saya ada urusan di sana, Pak Tua. Nah, berapa ongkos untuk mengangkut saya dengan perahumu?”

“Hanya sekali jalan ke sana, atau pergi-pulang?”

“Pergi pulang,” Bertoglio berteriak. “Kau mseti menunggu di dermaga. Saya akan kembali bersama seorang lagi penumpang.”

“Berarti akan ada ongkos tambahan.”

“Sudah saya duga, Pak Tua.”

Laki-laki yang satunya tersenyum dan untuk pertama kalinya ia angkat bicara. “Setiap kali anda menyebutnya ‘Pak Tua’, ongkosnya naik. Pikirnya ia masih semuda seekor kambing. Ia yakin semua biarawati itu ingin tidur dengannya.”

“Saya serahkan para biarawati itu kepada pendeta Bertole itu,” kata pak tua sambil tertawa, mempertontonkan setengah lusin gigi coklatnya yang sudah tak utuh lagi. “Mungkin dia suka mengulir wanita tua dengan kumis, tapi aku lebih menyukai ostrica kecil dan muda yang ada di tempat-tempat pelesiran.”

“Memangnya mereka akan lebih memilihmu!” teriak lelaki yang satunya.

“Berapa, “ Bertoglio memotong.

“Tergantung berapa banyak uang yang anda punya.”

“Perjalanan ini hanya 200 yard.”

“Rupanya anda ini kristus, Maggiore. Anda dapat berjalan di atas air?”

Bertoglio merogoh kantong jaketnya dan mengeluarkan segepok lira, menarik enam lembar uang kertas itu. Pak Tua mengernyitkan alis, dan bertoglio menarik enam lembar lagi.

“Cukup bagus,” kata Pak Tua. Ia memberikan isyarat dengan mengayunkan satu tangan yang gemetaran. “Masuklah ke perahuku dan aku akan mengantar anda menyeberang ke biara itu.”

Dengan canggung Bertoglio berusaha sendiri melangkah ke dalam perahu dan turun dengan hati-hati ke atas papan perintang bagian belakang. Pak Tua menyusul naik ke dalam perahu dan menarik kayuh-kayuh panjang. Dengan satu kayuh dia mendorong perahu menjauh dari dermaga, lalu memasukkan kedua kayuh ke lubang pengunci dan mulai mendayung perahu dengan kuat. Bertoglio duduk kukuh di bagian belakang, kedua tangannya memegang erat bibir perahu. Ia merasa sedikit mual ketika mereka mengarungi teluk lebih jauh. Di dekatnya ada sebuah ember besar yang di dalamnya terdapat sesuatu berwarna coklat dan berbentuk kenyal mengapung. Isi ember itu berbau busuk, dan perut Bertoglio yang sudah mulas itu mulai terdorong.”Kepala cumi-cumi,” Pak Tua menjelaskan. “Cumi-cumi itu dijaring ketika mulai kawin dan muncul kepermukaan ketika mulai birahi. Potong kepalanya sebelum mereka sempat menyemprotkan sperma, lalu jemur di bawah terik matahari selama satu atau dua hari. Begitulah cara membuat umpan yang lebih baik.”

Bertoglio tak bicara sepatah kata pun. Biara sudah menampak lebih dekat di depan mereka. Itulah sebuah gedung rendah nan panjang, yang dibangun dengan tangga unik sesuai dengan susunan bebatuannya. Di bagian belakang ada sebuah padang rumput curam, dan tampak olehnya sebuah pagar besi tempa bercat putih, yang di dalamnya terdapat sebidang kecil tanah kuburan, dinaungi oleh beberapa pohon zaitun yang dikerdilkan, serta ditancapi beberapa batu dan kayu salib sederhana dalam jarak yang renggang.

Lelaki tua itu menarik kayuhnya yang sebelah kanan. Perahu meluncur sekitar garis lurus yang merupakan bendungan ikan sarden dan haring yang dibuat untuk menangkap sekumpulan ikan yang sedang berenang pada permulaan musim pasang. Kemudian ia mengayuh lurus ke arah dermaga kecil di depan biara. Karena mereka mendekati dermaga dengan berisik, seorang perempuan tua berjubah biru tua dengan kerudung putih yang menutup sebagian besar wajahnya keluar dari pintu depan gedung dan berjalan turun ke dermaga, dengan kedua tangan yang tersembunyi di dalam lengan bajunya.

Dia berdiri di sana menunggu dengan tenang sementara Bertoglio mendekat. Sejenak Bertoglio merasa takut dan malu seakan-akan ia menjadi seperti anak-anak sedangkan makhluk-makhluk seperti ini adalah penguasa daerah bermainnya dan mengendalikannya dengan sebatang kayu. Ditambah dengan perutnya yang sedang berpilin-pilin, keadaan itu membuatnya merasa benar-benar khawatir ketika melompat ke luar dari perahu kecil si nelayan dan naik ke dermaga. Perempuan itu menatapnya, kemudian berbalik tanpa sepatah kata pun. Dia melangkah kembali menuju biara, sedangkan Bertoglio berjalan di belakangnya. Tak lama kemudian ia mengikuti biarawati itu memasuki kesejukan gedung yang terbuat dari batu itu. Suasana gelap; di situ kelihatannya tak ada cahaya buatan, Bertoglio mengerjapkan mata. Biarawati tua itu melewati sebuah ruang depan yang kosong tanpa hiasan apapun, lalu berbelok memasuki tempat semacam kamar yang dilengkapi dengan sebuah rak buku, sebuah meja kayu, beberapa kursi dan sebuah tungku api dari tanah liat. Di kamar itu ada satu-satunya jendela yang tengah tertutup. Melalui celah antar kisi-kisinya yang lebar, Bertoglio dapat melihat ke bawah ke arah pantai yang sempit dan dermaga. Nelayan tua itu ternyata kabur dan terlihat sudah setengah jalan melintasi teluk.

Bertoglio mengumpat. “Caccati in mano e prenditi a schiaffi!” Dia memukulkan satu kepalan tangannya ke telapak tangan lainnya.

“Adakah anda mengatakan sesuatu, Mayor?”

Seorang biarawati pendek berwajah menyenangkan berusia empat puluhan melangkah dari bayangan di sisi yang jauh dari tungku api. Tidak seperti suster tua yang telah mengantarnya kemari, biarawati ini memakai semacam tasbih besar–terbuat dari manik-manik kayu yang diukir–disekeliling pinggangnya yang gendut, dan sebuah salib besi yang besar bergantung pada rantai yang melingkar di lehernya, menjulur ke bawah di antara sepasang payudara besarnya yang menggantung.

“Saya tidak mengatakan apa-apa, “ jawab Bertoglio. “Siapa gerangan anda?” dia bertanya keras, sambil memajukan dagunya untuk mengekspresikan ejekan spontan ala Il Duce.

“Saya kepala biara, Suster Benedetta. Barangkali andalah yang mereka katakan akan datang.”

“Saya Maggiore Tiberio Bertoglio, MVSN Ketujuh Divisi Tevere,” Bertoglio berkata keras.

“Yang saya tunggu adalah seorang anggota polisi rahasia,” kata Suster Benedetta.

“Tidak ada polisi rahasia di Italia,” jawab Bertoglio.

“Bila begitu anda tidak benar-benar ada di sini, Maggiore. Anda adalah kilasan khayalan saya.” Perempuan itu tersenyum kelelahan. Saya kira pasukan Gestapo cukup untuk kedua Negara.”

“Saya datang untuk anak itu,” kata Bertoglio. Dia merogoh kantong kemejanya dan mengeluarkan sebuah paket kecil yang disegel dengan tanda salib dan tiga mahkota sebagai bukti sah dan resmi dari Vatikan.

“Anda punya banyak kawan di atas,” kata Suster Benedetta. Ia meletakkan jari telunjuknya yang gemuk di atas segel dan membuka paket itu. Di dalamnya ada selembar akta kelahiran dan selembar tiket perjalanan yang sudah dibubuhi cap oleh Vatikan, pemerintah Swiss, dan Otoritas Imigrasi Nazi. Ada satu set lagi dokumen perjalanan untuk satu orang dewasa yang tak disebut namanya. “Dokumen-dokumen ini atas nama Frederico Botte,” katanya.

“Begitulah nama anak itu.”

“Tidak, itu bukan namanya, dan anda tahu itu, Maggiore.”

“Sekarang itulah namanya. Jemputlah dia.”

“Dan jika kukatakan tak ada Frederico Botte di biara ini?”

“Saya lebih suka tak menjawabnya, Suster Kepala. Tak baik bagi anda ataupun saya. Jika anda menyembunyikan anak itu atau enggan menyerahkannya, maka akan ada akibat yang amat serius.” Ia berhenti sejenak. “Saya hanya melaksanakan apa yang diperintahkan, Suster. Yakinlah, bagi saya ini tidak menyenangkan.”

“Baik.”

Suster Benedetta mengambil sebuah lonceng kecil dari rak atas tungku perapian dan membunyikannya. Suara lonceng amat keras di dalam ruangan itu. Beberapa saat kemudian mucul seorang perempuan yang amat muda, dengan rok, kemeja, dan sweater yang tampak kurang nyaman dikenakan. Ia menggandeng tangan seorang bocah lelaki berusia kira-kira tiga tahun. Anak itu memakai celana pendek, kemeja putih dan dasi tipis. Rambut gelapnya licin dibasahi dengan air. Ia tampak ketakutan.

“Inilah anak itu. Ini Suster Filomena. Ia akan menyiapkan segala keperluan anak ini. Ia dapat berbicara dalam bahasa jerman dan Italia sehingga tak akan ada kesulitan untuk mengetahui segala kebutuhannya dan kebutuhan anak itu. “Suster Benedetta melangkah maju, mencium kedua pipi wanita muda itu dan memberikan dokumen-dokumen perjalanan serta akta kelahiran itu kepadanya. Suster Filomena memasukkan kertas-kertas itu ke saku panjang sweater sederhananya. Ia tampak ketakutan seperti anak-anak. Bertoglio paham kenapa perempuan muda itu ketakutan; dia pun ketakutan jika berada dalam kondisi seperti itu.

“Perahu yang mengantar saya ke sini sudah pergi. Bagaimana kami bisa kembali ke pulau utama?”

“Kami punya angkutan sendiri,” jawab Suster Benedetta. “Pergilah bersama Suster Filomena. Dia akan menunjukkan kepadamu.”

Bertoglio mengangguk, kemudian mengatupkan kedua tumitnya dengan keras. Tangannya mulai bergerak keras ke atas untuk memberikan hormat ala fasis, tapi kemudian ia berpikir lebih baik tidak melakukan hal itu; sebagai gantinya buru-buru ia menganggukan kepala. “Terima kasih atas kerjasama anda, Suster yang Terhormat.”

“Saya lakukan ini demi anak itu; dia tidak bersalah dalam kegilaan ini…. tidak seperti kebanyakan kita. Selamat tinggal.”

Tanpa berkata lagi, Bertoglio memutar tumitnya menghadap keluar ruangan. Suster Filomena dan anak itu mengikutinya dari belakang tanpa perlawanan. Di pintu keluar anak itu berhenti sejenak dan menoleh ke belakang.

“Selamat tinggal Eugenio,” Suster Benedetta berkata lirih, dan kemudian pergi.

Dia berjalan melewati jendela dan menatap dari celah daunnya, mengamati ketiga sosok yang bergerak turun ke dermaga. Dominic, lelaki muda dari desa yang membantu pekerjaan itu, menunggu di dekat dermaga. Dia membantu anak itu masuk ke perahu milik biara, kemudian ia juga membantu Filomena ke tempat duduknya. Sang Maggiore duduk di haluan seperti seseorang dari Washington yang berseragam menggelikan sedang melewati Delaware. Dominic naik ke kapal dan mengambil kayuh. Beberapa saat kemudian mereka sudah berada jauh di teluk yang sempit antara pulau kecil itu dan dataran luas.

Suster Benedetta mengamati sampai ia tak lagi dapat melihat sosok anak itu. Kemudian ia berjalan keluar dari ruangan itu dan melewati sebuah koridor panjang di antara sel-sel pribadi, dan akhirnya mencapai pintu keluar di bagian bawah gedung di belakang kamar mandi dan toilet. Ia keluar dalam keredupan sinar matahari petang dan mengikuti sebuah jalan sempit berlantai arang di atas bukit menuju makam. Dengan memotong jalan, ia menyusur lebih jauh ke dalam pepohonan yang gelap, dan akhirnya sampai di sebuah lembah kecil yang ditumbuhi aneka bunga dan dipenuhi aroma aneh dari pohon-pohon pinus di sekelilingnya.

Dia mengikuti jalan itu memasuki lahan bundar kecil dan berpagar, mendengar sepoi angin tinggi di atasnya dan gemuruh angin laut di kejauhan. Jika ada sesuatu yang disukai Katherine, maka tempat inilah yang ia sukai; satu-satunya kedamaiannya dalam sebuah kehidupan yang hancur karena ketakutan dan keprihatinan. Pendeta dari Portovenere tidak keberatan Katherine dikubur di tanah suci, dan akhirnya Suster Benedetta pun tidak menentangnya. Tak ada keraguan dalam hatinya bahwa tempat ini lebih dekat dengan Tuhan dari pada tempat lainnya dan bahwa Katherine akan lebih menyukainya.

Dengan mudah ia menemukan salib marmer sederhana, walaupun disekelilingnya sudah ditumbuhi semak-semak yang lebat. Ia berlutut, meluangkan waktu sebentar untuk mencabuti tetumbuhan kecil yang menjalar di atas batu, menyibak tulisan :

KATHERINE MARIA TERESA ANNUNZIO

26.5.1914

22.10.1939

PACEM

Perlahan Suster Benedetta melepaskan tasbih yang ia kenakan di pergelangan tangan kanannya dan mengepitnya dalam genggaman kedua tangannya. Ia menatap batu itu dan membisikkan doa lama para paus sebagaimana kata-kata terakhir perempuan muda itu sebelum ia menceburkan dirinya ke dalam laut:

“Kata-kata ini adalah musik indah bagi telinga;

Aku menghormatimu wahai Bunda!

Inilah lagu manis untuk diulang;

Aku menghormatimu wahai Bunda Suci!

Engkaulah kesenangan, harapan, dan cinta suciku

kekuatan dalam segala kesengsaraan.

Jika jiwaku

yang dikacaukan

dan diserang oleh nafsu

menderita karena beban menyakitkan

berupa kesedihan dan tangisan,

Jika engkau melihat anakmu dibanjiri kemalangan,

Wahai Maria Perawan Suci,

Izinkan aku beristirahat dalam pelukan keibuanmu.

Tetapi duhai,

hari akhir telah menjelang dengan cepat.

Usirlah iblis ke neraka yang dalam,

dan tetaplah, Bunda terkasih,

berada didekat anakmu yang telah renta dan banyak kesalahan.

Dengan jamahan lembut,

lindungilah para murid yang waspada

dan serahkanlah kepada Tuhan dengan rasa sayang

jiwa yang sedang kembali kepada-Nya.

Amin.”

Angin yang bertambah kencang ketika menerpa pepohonan, menjawab doanya, dan untuk setiap saat kedamaian, keyakinan masa kanak-kanaknya kembali dan sekali lagi ia merasakan kenikmatan Tuhan. Kemudian kenikmatan itu memudar karena hembusan keras yang bergulung dan tetes air mata di pipinya yang tak terbendung. Dia memikirkan Bertoglio, memikirkan Filomena dan anak itu. Dan memikirkan Katherine, dan memikirkan orang itu, laki-laki kotor nan angkuh yang telah melakukan perbuatan itu terhadap Katherine sehingga mengantarnya kepada kematian ini. Tak ada doa para paus baginya. Yang ada hanyalah sebuah kutukan yang cuma sekali ia dengan dari ibu Katherine beberapa tahun yang lalu.

“Semoga kau membusuk dalam kuburanmu. Semoga kau hancur digerogoti belatung ketika terbaring mati. Semoga jiwamu rusak membusuk di hadapan keluargamu dan dunia. Semoga kau celaka dalam kegelapan yang kekal dan tidak menemukan kehormatan kecuali dalam siksa api neraka.”

Kisah yang menegangkan ini menceritakan tentang konspirasi Vatikan, Nazi dan Rahasia Michelangelo. Benar atau tidak kisah ini, mari kita uji sama-sama yang tentunya dengan literature-literature yang ada. Selamat !

Tidak ada komentar: