MEMBANGUN NEGERI TANPA KORUPSI, MUNGKINKAH ?
Korupsi telah terjadi di negeri ini sejak awal kemerdekaan, hanya saja waktu itu belum kentara dibandingkan saat-saat orde baru dan sekarang ini. Sejak itu sampai saat ini berbagai lembaga telah dibentuk dan didirikan di republik ini, namun korupsi terus saja bertahan. Sebenarnya usia korupsi telah setua usia peradaban dunia, sama juga dengan berbagai penyakit sosial lainnya, seperti pelacuran, judi, minuman keras, madat, perampokan, pembunuhan, monopoli, penindasan dan lain sebagainya.
Berbagai agama dunia telah diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa ke bumi ini, namun penyakit sosial ini termasuk korupsi masih tetap ada, meskipun ada masa dorman dan ada kalanya tumbuh subur dan berkembang biak.. Sepertinya itu semacam fitrah atau keharusan sejarah, karena mungkin bila tidak ada lagi kejahatan, penyakit sosial, maka mungkin dunia ini telah tiada. Kehidupan ini tak perlu lagi untuk dipertahankan. Bagaimana seorang hamba bisa mengetahui sesuatu itu baik, bila tidak pernah mengetahui, melihat atau mendengar yang buruk dan jahat.
Orang baru dapat menghargai malam, bila dia telah melalui siang. Orang akan – lebih – memahami arti kemerdekaan, bila ia telah merasakan penjajahan. Kita akan lebih mencintai kedamaian, bila kita telah menghadapi masa kekacauan. Orang akan kurang memaknai harta, bila ia tidak pernah merasa kekurangan harta. Orang tidak akan merasa kehilangan, bila ia memang tidak pernah memiliki apapun. Orang tidak akan merasa penting nilai kesehatan, bila ia tidak pernah merasakan sakit. Itulah dunia, ada hitam dan ada putih.
Sebenarnya tak ada negeri yang tak ada prilaku-prilaku menyimpang ini, semuanya ada. Hanya saja intensitas atau ukurannya yang berbeda. Mana ada negeri yang tak ada perjudian, perzinahan, penindasan dan ketidak-adilan, semuanya ada dan memang harus ada untuk memberi makna bagi suatu perjuangan. Karena perjuangan inilah yang memberikan nilai dan tingkatan bagi individu-individu ummat manusia. Semuanya wajar saja.
Lantas yang menjadi pertanyaan bagi kita, apa lantas kita membiarkan segala penyakit sosial termasuk korupsi itu tumbuh dan berkembang. Mungkin iya dan mungkin saja tidak. Tergantung sudut pandang setiap individu orang.
Pada masyarakat kanibal, justeru orang yang tak mau berprilaku kanibal dianggap aneh, unik, eksentrik dan tidak gaul. Di sejumlah negara maju, baik di eropa dan amerika – yang dianggap negara modern – justeru para remaja putri dan remaja pria merasa malu bila belum pernah berhubungan badan dengan lawan jenisnya dianggap hal yang memalukan, dan cenderung digelar dengan virgid (dingin), ngak gaul, kolot, kampungan dan berbagai penghinaan dari rekan sesamanya. Toh akhirnya, pemerintah dan masyarakat amerika saat ini mulai kewalahan akibat dampak yang terjadi akibat pergaulan bebas, yang akhirnya mendongkrak angka kriminalitas. Masyarakat maju tersebut mulai merasakan ada yang tidak sehat dalam prilaku budaya masyarakatnya sendiri. Mereka mengalami depresi berat.
Pada masyarakat purba, yang kuat itulah yang menjadi pemimpin. Pada masyarakat bandit, bromoncorah, gang, penjahat, maka yang menjadi pemimpin pasti yang paling jahat, paling kuat, bengis dan tak berprikemanusiaan. Lantas muncul pertanyaan, sudahkah totalitas warga bangsa di republik ini merasa bahwa budaya korupsi, kolusi dan nepotisme adalah penyakit sosial yang luar biasa, atau jesteru mungkin masih dianggap biasa dan wajar saja. Kalau masih dianggap biasa, lumrah dan wajar saja, maka omong kosong korupsi bisa diberantas – pasti tidak bisa diberantas – hanya mungkin diminimalisir. Untuk mengetahui ini, mari kita bertanya pada diri kita masing-masing secara jujur, sudah siapkah kita bila korupsi, kolusi dan nepotisme ini dihapuskan dalam budaya kita?.
Kalau masih belum siap semuanya atau setidaknya sebahagian besar warga bangsa, maka kebijakan apapun dan berapa banyak pun lembaga anti korupsi dibentuk, toh hasilnya sama saja. Kalau masih begini, maka mari kita biarkan saja korupsi merajalela sampai pada titik kritis munculnya kesadaran nasional akan pentingnya kehidupan tanpa korupsi. Kami teringat pada teori trend, bahwa sesuatu yang terpecah-pecah cenderung menyatu, sesuatu yang kacau cenderung akan menjadi teratur.
Sekali lagi perlu kami sampaikan bahwa bila kita secara nasional secara jujur merasa belum penting benar akan dampak korupsi, maka yang terjadi hanya perubahan pelaku, dari yang tertindas menjadi penindas dan dari penindas menjadi yang tertindas. Selamat dari mulut buaya masuk ke mulut harimau. Lingkaran setan ini terus berputar tanpa ujung. Mungkin inilah yang sedang terjadi di negeri ini.
Kami sering menyatakan ke rekan-rekan bahwa kita sedang terjebak dengan perlombaan tikusnya Robert T. Kiyosaki, yang ngak atau kapan akan berakhirnya semua ini. Sejarah memperlihatkan kepada kita dua hal yang ekstrem yang terjadi, yaitu bila kita telah terlalu lama tertindas, maka biasanya orang akan menghadapi dua kemungkinan, yaitu belajar untuk tidak menindas atau jesteru kita belajar untuk menindas. Kita seharusnya belajar dari pengalaman masa lalu bahwa segala sesuatunya pasti ada pasang dan surutnya. Dan mudah-mudahan kita termasuk dalam kelompok orang-orang yang selamat dari banjir bandang Nabi Nuh atau tsunami dari prilaku menyimpang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar