Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis (Bag. 1)
Oleh : Paulo Coelho
i tepi Sungai Piedra aku duduk dan menangis.
Di tepi Sungai Piedra aku duduk dan menangis. Udara musim dingin membuat air mata yang mengalir di pipiku terasa dingin, dan air mataku menets ke air sungai dingin yang menggelegak melewatiku. Disuatu tempat entah dimana, sungai ini akan bertemu sungai lain, lalu yang lain lagi, hingga – jauh dari hati dan pandanganku – semuanya menyatu dengan lautan.
Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar kekasihku tak pernah tahu bahwa suatu hari aku pernah menangis untuknya. Semoga air mataku mengalir sejauh-jauhnya, agar aku dapat melupakan Sungai Piedra, biara, gereja di Pengunungan Pyrenee, kabut, dan jalan-jalan yang kami lalui bersama.
Aku akan melupakan jalan-jalan, pegunungan, dan padang-padang mimpi-mimpiku – mimpi-mimpi yang takkan pernah menjadi kenyataan.
Aku ingat “saat magis” -ku – saat ketika sebuah “ya” atau “tidak” dapat mengubah hidup seseorang untuk selamanya. Rasanya sudah lama sekali. Sulit dipercaya baru minggu lalu aku menemukan cintaku lagi, dan kemudian kehilangan dirinya.
Aku menulis kisah ini di tepi Sungai Piedra. Tanganku terasa beku, kakiku mati rasa, dan setiap menit aku ingin berhenti.
“Hiduplah. Mengenangnya hanya untuk orang-orang tua,” ia berkata.
Mungkin cinta membuat kita menua sebelum waktunya – atau menjadi muda, jika masa muda telah lewat. Namun mana mungkin aku tidak mengenang saat-saat itu? Itulah sebabnya aku menulis – mencoba mengubah getir menjadi rindu, sepi menjadi kenangan. Sehingga ketika aku selesai menceritakan kisah ini pada diriku sendiri, aku bisa melemparkannya ke Piedra. Itulah yang dikatakan wanita yang memberiku tempat menginap. Ketika itulah – seperti kata salah satu orang kudus – air sungai akan memadamkan apa yang telah ditulis oleh lidah api.
Semua kisah cinta tiada berbeda.
- ð - - ð - - ð - - ð -
Kami tumbuh bersama. Lalu ia pergi, seperti banyak orang muda yang pergi meninggalkan kota-kota kecil. Katanya ia akan belajar tentang dunia, bahwa mimpi-mimpinya berada di luar padang-padang Soria.
Tahun-tahun berlalu nyaris tanpa kabar darinya. Sesekali ia mengirimku
Setelah menamatkan sekolah, aku pindah ke Zaragosa, dan di
Setelah itu surat-surat dari teman masa kecilku mulai datang lebih sering – aku iri melihat prangko-prangko yang berasal dari berbagi tempat. Sepertinya ia mengetahui segalanya; ia telah menumbuhkan sayap, dan kini menjelajahi dunia. Sementara aku sendiri hanya berusaha menancapkan akarku.
Sebagian suratnya dikirim dari tempat yang sama di Perancis, bicara mengenai Tuhan. Dalam salah satu suratnya, ia bicara tentang keinginannya masuk seminari dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk doa. Aku membalas suratnya, memintanya menunda keinginannya, mendorongnya untuk menikmati kebebasannya dulu sebelum mengambil komitmen seserius itu.
Namun setelah membaca ulang suratku, aku merobeknya. Siapalah aku ini, berbicara tentang kebebasan atau komitmen? Dibandingkan dirinya, aku tidak mengetahui apa-apa mengenai semua itu.
Pada suatu hari aku mengetahui ia mulai memberikan kuliah. Aku terkejut; kupikir ia terlalu muda untuk mengajar sesuatu. Kemudian ia menulis bahwa ia akan memberikan kuliah kepada sekelompok kecil orang di Madrid – dan memintaku datang.
Jadi aku melakukan perjalanan selama empat jam dari Zaragosa ke
Inilah sepenggal kisah yang ditulis Paulo Coelho dalam karya sastranya. Pembaca di Indonesia dapat memperoleh bukunya di took-toko buku Gramedia. Buku edisi bahasa Indonesia ini diterbitkan oleh Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Bagi pembaca yang kesulitan memperolehnya dengan berbagai alasan dapat menghubungi kami melalui email Tuhadroe@plasa.com atau longna@plasa.com atau kalau memungkinkan akan kami sampaikan melalui penggalan-penggalan kecil diblog ini. Yang pasti kami merekomendasikan bagi pembaca untuk membaca berbagai karya sastra Paulo Coelho. Seru deh. Bukan promosi hanya menurut kami layak baca. Tidak kami tulis semua, takut nanti dianggap melanggar UU Hak Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar