Madonna Sang Pastor (Bag.1-Satu)

Kamis, 05 Juli 2007

Madonna Sang Pastor (Bag.1-Satu)

Oleh Amy Hassinger

Berenger dan aku pertama kali bertemu di Sainte Baume pada malam puncak perayaan Santa Maria Magdalena, tanggal 21 Juli 1877. ketika itu, ia berusia dua puluh lima dan aku sembilan tahun. Kami hanyalah dua orang dari sekelompok peziarah yang datang dari berbagai sudut negeri: Bourgogne, Limousin, Bretagne, bahkan ada pula yang datang dari Paris. Ibuku sedang mengandung adikku, Christophe yang malang, meski saat itu aku belum mengetahui hal ini.

Kami menumpang kereta api menuju wilayah pantai, tempat kami melanjutkan perjalanan dengan kapal feri. Kapal itu sarat penumpang hingga sulit bagi kami menemukan tepat duduk, dan kami pun terlambat tiba. Aku melihat orang dengan berbagai jenis wajah: ada yang berwajah kemerah-merahan; para petani tua dengan kulit wajah terbakar diterpa terik matahari dan angin; kaum pria seusia ayahku yang mengenakan kemeja dan sweter; sementara anak-anak kecil mengenakan pakaian yang penuh dengan noda-noda kotoran. Para gadis remaja yang memakai alas dada dengan rambut yang dikepang indah, dan para pemuda yang duduk berkelompok sambil bermain kartu dan merokok. Tetapi, aku lebih memerhatikan kaum wanita seusia ibuku, dan meskipun mereka mengenakan dandanan wajah dan pakaian yang berbeda – ada yang mengenakan topi mahal, syal, sepatu bot, sabot (sepatu yang terbuat dari kayu utuh, biasa dipakai petani Perancis dan Breton), dan penutup wajah – mereka semua membawa kipas yang hampir sama untuk menahan panasnya cuaca.

Walaupun perjalanan dengan kereta itu mengasyikkan, panasnya udara sungguh tak tertahankan. Sepanjang perjalanan dengan kereta, kami duduk berhadapan dengan seorang perempuan yang menyebalkan. Kedua anaknya yang nakal itu terus saja menganggu adikku, Claude, yang masih berusia lima tahun. Karena itu, aku merasa lega dan sekaligus gembira ketika akhirnya kami dapat menaiki feri dan merasakan terpaan angin Laut Mediteran. Ibuku membiarkan kami menjelajahi dek kapal itu. Kami menjelajahi ketiga tingkat kapal itu dan berhenti di dek paling atas untuk menyaksikan laut yang mendidih oleh baling-baling kapal. Burung-burung camar terbang diatas kepala kami, seraya meneriakkan suara sendu, dan kami memberi mereka makan dengan berbekal potongan roti.

Saat itulah aku pertama kali melihat Berenger, seorang pemuda yang tampak sangat rapi dengan alis mata hitam, dengan berdiri sambil bercakap-cakap dengan ibuku, yang akhirnya bergabung dengan kami di dek puncak. Aku menilainya sebagai orang asing yang datang bukan dari masa kini. Kemudian, aku berpaling darinya dan tak pernah lagi memikirkannya.

Kami tiba di Marseilles pada sore hari. Karena harus berjalan mendaki, ibu mengajak kami mengisi perut dengan sedikit roti dan keju di kedai makan. Ada pula keluarga lain di situ – sepasang suami istri dengan seorang gadis kecil – yang juga hendak menghadiri misa tengah malam di Sainte Baume, sehingga kami pun duduk bersama mereka, berbincang-bincang sambil menikmati makan kami. Gadis kecil itu menyukai Claude dan dengan serta merta mencium pipi adikku itu, yang membuat kami semua tertawa. Saat kami mulai mendaki, cuaca sudah mulai sejuk, yang betul-betul kami syukuri karena jalan itu terjal dan kami sudah lelah. Gadis kecil itu tak henti-hentinya menggerutu hingga sang ayah terpaksa menggendongnya pada pendakian terakhir menuju gua.

Ketika kami tiba, gua kecil itu telah dipenuhi para peziarah. Kami mendapat tempat di bagian belakang. Tempat itu pengap dan dingin meskipun disesaki orang. Gadis kecil itu terlelap di pundak ayahnya. Aku menemukan sebongkah batu dan duduk di atasnya, sementara Claude meletakkan kepalanya di pangkuanku. Sambil menepuk-nepuk kepalanya, aku memandangi langit yang kelam dan bintang-bintang, saat kami menanti mulainya upacara misa.

“Kau melihat sesuatu, maman?” tanyaku kepada ibu, yang berdiri di sampingku.

“Belum. Masih gelap.” Ibu menaruh tangannya di kepalaku.

Aku pasti tertidur lelap. Yang ku ingat setelah itu adalah ibu membangunkanku dengan bersemangat. Aku membuka mata dan melihat cahaya lilin bergetar di dekat dinding-dinding gua itu. Claude kini tertidur di bawah kaki ibu, kepalanya di atas mantel ibu, yang telah digulung untuk dijadikan alas kepalanya. Aku berdiri dan memaksakan diri untuk melihat melalui kerumunan orang itu. Karena terlalu pendek, aku bertanya sambil berbisik kepada ibu mengenai apa sesungguhnya yang sedang terjadi, namun ibu menyuruhku diam.

Kemudian pemuda yang berdiri di depan kami berpaling, dan aku melihat bahwa dia adalah pemuda yang sama, yang berbicara dengan ibuku dalam perjalanan dengan kapal feri kemarin. “Mau lihat?” tanyanya.

Aku mengangguk, malu karena ia mendengar bisikanku tadi.

Aku terperangah, pemuda itu berjongkok, membungkukkan kepala, dan berkata naik ke pundakku.”

Aku menoleh kepada ibu untuk meminta persetujuannya, namun ibu sedang hanyut dalam misa hingga tidak memperhatikanku. Pemuda itu tersenyum lebar kepadaku, heran ketika menyaksikan reaksi terkejutku ketika diundang untuk menaiki pundak seseorang asing. Sepertinya ia menikmati usulan yang sebenarnya memalukan itu. “Engkau telah bepergian sejauh ini,” katanya, “seharusnya engkau tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.”

Seraya memandang sekali lagi kearah ibuku, aku memutuskan untuk memenuhi undangan pemuda itu. Aku mengangkat rokku sedikit, memegangi pundaknya, kemudian melingkarkan kakiku di belakangnya. Ketika pemuda itu berdiri, aku menjepit kedua lututku supaya aku tidak jatuh, ibuku berpaling karena terkejut oleh gerakan yang tiba-tiba itu. Aku tak pernah melihat wajah ibuku sedemikian marah bercampur panik. “Maria!” serunya dengan keras, hingga membangunkan Claude dan semua mata menoleh ke arah kami. Wajahku seperti terbakar, dan aku mendorong pundak pemuda itu, memaksanya untuk menurunkan aku. Tetapi ia memanggil ibuku dengan namanya dan mengatakan tidak apa-apa. “Akulah yang menyuruhnya, Madame,” katanya. “Sayang sekali setelah bepergian sejauh ini, ia sendiri tak berkesempatan melihat wajah Santa Maria Magdalena.”

Aku terkejut – namun aku tidak tahu apakah ibuku mengenal baik keluarga pemuda itu – wajah ibuku kembali ramah dan ia pun menyetujuinya.

Dari posisiku yang baru, aku melihat gua kecil itu jauh lebih mengagumkan daripada yang ku bayangkan. Gua itu membentang di hadapan kami sejauh beberapa meter. Lilin-lilin persembahan ditempatkan di ceruk-ceruk karang dan juga dibagikan kepada umat yang berada di depan, agar gua itu semakin terang. Imam yang berdiri di depan diterangi cahaya seperti pada siang hari, dan ketika ia mengangkat tangannya untuk memberkati roti dan anggur, telapak tangannya memancarkan cahaya seperti batu pualam yang digosok. Cahaya lilin menerangi umat yang berkumpul. Beberapa di antara mereka sudah kukenal ketika di feri. Pada siang hari wajah mereka tampak biasa saja, namun di sini wajah-wajah itu tampak memancarkan cahaya.

Ketika imam membungkuk untuk mencecapi anggur, aku melihat sebuah tempat penyimpanan relik (benda suci) di belakangnya: sebuah lingkaran emas dalam sebuah tandu kecil. Didalam tempat penyimpanan benda suci itu terdapat tengkorak Maria Magdalena. Dia adalah perempuan yang begitu dicintai Kristus sehingga kepadanya Yesus menampakkan diri pertama kali setelah bangkit dari kubur. Dan dia mendesak wanita itu untuk mewartakan berita itu kepada para muridnya. Aku mengenal perempuan itu sebagai pendosa yang bertobat, pelacur yang bertobat, perempuan yang bias membuat kesalahan, penuh iman dan setia. Melalui bukuku yang berjudul Kehidupan Santo-Santa aku mengetahui bahwa perempuan itu datang ke Perancis dari wilayah Palestina dengan sebuah sampan, yang sengaja dilemparkan ke laut oleh para penyembah berhala dengan maksud untuk menenggelamkannya. Ia membantu menyebarkan ajaran Kristus di Gaul (nama wilayah kuno di Eropa. Sekarang wilayah ini meliputi Perancis, Belgia, Belanda bagian utara, Jerman bagian barat daya, dan Itali bagian selatan), dan menghabiskan dua puluh tujuh tahun terakhirnya di dalam gua ini, berdoa kepada Tuhan yang begitu ia cintai dalam hidupnya. Disinilah aku sekarang, di tempat pertapaannya ini, begitu dekatnya aku dengan dinding-dinding gua yang pernah begitu lama ditatapi oleh perempuan itu. Karena terpesona, tanpa sadar aku mencengkeram leher pemuda yang membantuku melihat gua ini.

Ketika tiba waktunya untuk komuni, pemuda itu menurunkanku agar ia dapat mengikuti antrean penerima komuni. Pemuda itu tidak kembali ke tempatnya, maka aku pun tidak melihatnya lagi, dan aku pun tidak dapat menyaksikan lanjutan acara tengah malam itu. Namun, aku tidak kecewa. Apa yang aku lihat itu sudah cukup untuk memantik imajinasiku. Ketika misa itu berakhir, aku berjalan di belakang ibuku, menuruni bukit bersama para peziarah yang lain. Aku dikuasai perasaan seolah-olah aku sendiri sudah mengambil bagian di dalam sesuatu yang sungguh terpisah dari ruang dan waktu tempat aku biasa hidup.

Demikianlah sekelumit karya sastra Amy Hassinger, yang judul sebenarnya “The Priest’s Madonna”. Buku ini dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh PT. Bentang Pustaka dan dapat diperoleh di toko-toko buku di Kota anda. Bagi pembaca yang kesulitan memperolehnya dengan berbagai alasan dapat menghubungi kami melalui email Tuhadroe@plasa.com atau longna@plasa.com atau kalau memungkinkan akan kami sampaikan melalui penggalan-penggalan kecil diblog ini. Yang pasti kami merekomendasikan bagi pembaca untuk membaca berbagai karya sastra Amy Hessinger. Okey banget deh. Bukan promosi hanya menurut kami layak baca. Tidak kami tulis semua, takut nanti dianggap melanggar UU Hak Cipta.

Tidak ada komentar: